Thịt cho, atau daging anjing, merupakan hidangan yang masih ditemukan dan dikonsumsi di Vietnam, meskipun ada perubahan mentalitas di kalangan warga.
Hidangan ini dianggap sebagai salah satu makanan ekstrem yang dapat mengejutkan banyak orang, meskipun demikian konsumsi daging anjing tetap menjadi kenyataan di Vietnam. Berikut ini Kuliner Ekstrim akan memberikan informasi menarik tentang Thịt cho hidangan daging anjing khas Vietnam yang kaya sejarah.
Daftar Isi
Sejarah dan Makna Budaya Thit Cho
Secara historis, konsumsi daging anjing di Vietnam telah berlangsung selama berabad-abad. Hidangan ini dikenal dengan sebutan “thịt chó” atau kadang disebut “thịt cầy” yang berarti “daging musang”. Tradisi ini muncul dari kepercayaan masyarakat terhadap nilai simbolik dan spiritual daging anjing. Dalam banyak komunitas, menyantap thịt chó dipercaya dapat membawa keberuntungan, terutama bila dilakukan di akhir bulan lunar untuk mengusir nasib buruk yang telah menumpuk.
Selain aspek spiritual, thịt chó juga memiliki makna sosial dan gender. Di sejumlah daerah, konsumsi daging anjing sering dikaitkan dengan ekspresi maskulinitas dan keberanian. Bagi sebagian pria Vietnam, makan daging anjing dianggap sebagai simbol kejantanan, kekuatan, dan solidaritas antarteman. Aktivitas ini sering dilakukan bersama dalam suasana penuh keakraban, ditemani arak lokal dan percakapan panjang.
Namun, di balik tradisi tersebut, muncul pula perdebatan tentang nilai kemanusiaan dan etika konsumsi daging anjing. Seiring dengan meningkatnya kesadaran global tentang kesejahteraan hewan, sebagian masyarakat Vietnam mulai mempertanyakan relevansi budaya ini di era modern.
Penyajian dan Rasa Thit Cho
Hidangan thịt chó disajikan dalam berbagai bentuk dan gaya memasak. Beberapa di antaranya dipanggang hingga kecokelatan, dikukus agar tetap lembut, atau diolah menjadi sosis darah yang dikenal sebagai “doi chó”. Dalam penyajiannya, daging biasanya disertai daun aprikot dan pasta udang fermentasi yang disebut “mắm tôm”, menciptakan kombinasi rasa yang kuat dan tajam di lidah.
Di restoran khusus thịt chó, pengunjung dapat menemukan 7 hingga 9 hidangan berbeda dari satu ekor anjing, mulai dari iga panggang, kaki rebus, hingga irisan daging yang dimasak dengan rempah. Keanekaragaman menu ini menunjukkan betapa dalamnya akar kuliner thịt chó dalam budaya Vietnam.
Soal rasa, daging anjing memiliki tekstur lembut menyerupai daging sapi muda, dengan aroma khas yang cukup kuat. Banyak orang menggambarkannya sebagai daging yang gurih dan sedikit manis, meski ada juga yang merasa rasanya kurang menarik. Beberapa membandingkannya dengan daging kelinci, hanya saja lebih kenyal dan berlemak.
Baca Juga: Rica-Rica Tikus Sawah, Kuliner Ekstrem Dari Tanah Manado Yang Menggugah Rasa
Popularitas dan Tantangan di Perkotaan
Di berbagai kota Vietnam, terutama di Hanoi, thịt chó pernah menjadi kuliner populer yang mudah ditemukan di pinggir jalan. Permintaannya tinggi, dan konsumsi daging anjing sepenuhnya legal. Bagi sebagian warga, menyantap thịt chó dianggap sebagai “kesenangan terlarang” sesuatu yang unik, berani, dan menggoda.
Namun, belakangan ini, popularitas thịt chó mulai menurun. Pemerintah kota Hanoi bahkan mendorong masyarakat untuk mengurangi atau menghentikan konsumsi daging anjing demi citra kota yang lebih modern dan ramah wisatawan. Kampanye kesadaran tentang hak hewan dan kesehatan publik turut mempercepat perubahan pandangan ini.
Meskipun demikian, kebiasaan ini belum sepenuhnya hilang. Banyak masyarakat di daerah pedesaan maupun kalangan tertentu di perkotaan yang masih menikmati thịt chó sebagai bagian dari tradisi turun-temurun dan identitas budaya mereka.
Pergeseran Tren dan Masa Depan
Tradisi makan thịt chó menghadapi tantangan besar karena generasi muda Vietnam semakin terbuka terhadap pengaruh global dan gaya hidup modern. Banyak yang menilai konsumsi daging anjing sebagai kebiasaan kuno yang kurang sesuai dengan nilai kemanusiaan saat ini.
Di sisi lain, aktivis dan komunitas pecinta hewan gencar mengedukasi masyarakat untuk beralih ke sumber protein lain. Pemerintah kota besar seperti Hanoi dan Ho Chi Minh City turut mendukung gerakan ini melalui kampanye publik dan kebijakan yang mendorong perubahan perilaku.
Meski mendapat tekanan modernisasi, thịt chó masih bertahan sebagai bagian dari kuliner Vietnam. Hidangan ini menjadi simbol benturan antara tradisi lama dan kesadaran baru, serta bagi sebagian orang tetap mewakili identitas dan sejarah budaya yang sulit dilepaskan.
Manfaatkan waktu Anda untuk mengeksplorisasi ulasan yang menarik lainnya mengenai kuliner ekstrim Indonesia hanya di Kuliner Ekstrim.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari quamienbac.com
- Gambar Kedua dari wikimedia.org